Archive | October, 2010

Indonesia Rasa Jawa

17 Oct

Sewaktu  akan berangkat  ke Jakarta, saya membayangkan bahasa saya bakal berubah.   Paling tidak akan lebih sering menggunakan Bahasa Indonesia. Atau kalau sudah parah, bakal menggunakan kosakata “Lo …Gue”. Apalagi ketika saya teringat sinetron-sinteron yang pernah tertonton. Mungkin lebih mantap  lagi, bila semua huruf vocal yang berada di belakang kata berubah menjadi E. ‘Iya’ jadi ‘Iye’, ‘Kata’ jadi ‘Kate’, dan lain sebagainya. Saya selalu berkata dalam hati,  akan mempertahankan default saya sebagai orang Jogja.

Sebulan di Jakarta, saya justru merasakan aura berbeda. Walau ada suasana Betawi, tapi yang lebih dominan justru suasana Jawa. Mau makan pecel lele, yang jual orang Lamongan. Awalnya saya pakai Bahasa Indonesia saat membeli, lama-lama berubah jadi Bahasa Jawa. Saat pulang kantor, mampir ke warung makan, yang jual orang Tegal. Saya juga pakai Bahasa Jawa saat membeli. Mau fotokopi buku, eh yang melayani orang Solo.

Suatu malam, saat saya bertandang ke sebuah warung pecel ayam  di kawasan Utan Kayu. Saya iseng-iseng tanya asal penjualnya. Dia menjawab asal Padang. Oh, untung  bukan orang Jawa lagi. Saya  bilang ke dia” Wah orang Padang itu terkenal dengan semangat merantaunya ya bang.  Ke mana-mana pasti ada orang Padang”. Dia pun menjawab,” Wah sebenarnya bukan Padang, tapi justru  orang Jawa. Coba lihat saja, dari Sabang sampai Merauke,mudah ketemu orang Jawa”. Jawaban penjual tadi memang ada benarnya. Paling tidak hal itu saya buktikan sendiri, saat 2 minggu lalu saya ke Palembang melalui jalur darat.

Saat kami sampai di daerah Tulang Bawang, perut terasa lapar. Kami pun memutuskan untuk mampir ke sebuah warung. Tak dinyana tak diduga, yang jual orang Jawa juga. Saat perjalanan pulang, pengalaman yang sama kami alami juga. Mungkin mereka para transmigran yang merantau ke Lampung dan sekitarnya. Soalnya sepanjang perjalanan pulang, saya memang melewati wilayah-wilayah para transmigran. Tanahnya luas-luas, kebanyakan mereka menanam ketela. Kata kawan saya, ketela digunakan untuk bahan bakar alternatif. Mungkin mereka orang Jawa juga.

Ekspansi orang Jawa, saya boleh katakan  luar biasa. Mungkin  inilah salah satu hasil dari program transmigrasi yang digalakan Pak Harto dulu, atau justru jauh saat politik etis digulirkan Belanda.  Di Jakarta sendiri, saya justru banyak menggunakan bahasa Jawa. Teman kos banyak yang orang Jawa. Pokoknya rasanya hidup di perkampungan Jawa.  Bisa jadi, munculnya organisasi-organisasi etnis selain Jawa  di Jakarta  dipicu oleh desakan masuknya masyarakat Jawa yang luar biasa. Mereka membentuk pertahanan dengan menggabungkan diri dalam sebuah wadah, sehingga memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan gelombang besar eksodus orang Jawa. Pasalnya, saya pernah melihat data statistic sebuah keluarahan di Jakarta. Jumlah penduduk pendatangnya yang didominasi oleh Jawa, sebesar 19.000 orang, sedang penduduk asli hanya 2000 orang.

Berbagai streotip baik  dan buruk muncul begitu saja mengiringi datangnya orang-orang Jawa ke pelosok negeri. Cap baiknya, orang Jawa dikenal pekerja keras bila di tanah rantau. Bila bekerja di tempat orang, mereka dikenal jarang membangkang dan rajin. Entah itu benar atau tidak, tapi fakta di sebagian besar pabrik di Jakarta, berisi orang Jawa. Cap buruknya, karena saking banyak hadir di setiap sektor kehidupan, dianggap mengambil jatah penduduk lokal. Masyarakat pribumi, seolah dinomorduakan. Yah, semoga saja itu tidak benar

Dulu di Jaman sebelum reformasi dulu,dikenal istilah jawanisasi. Sebuah terminologi yang menunjuk pada proses penyesuaian sistem kehidupan di luar Jawa(baca: Indonesia) dengan di Jawa. Dari  sistem pemerintahannya hingga bahasanya pun seolah harus mengikuti pattern Jawa.  Masih ingat di benak kita, para pejabat dahulu saat berbicara kata berakhiran ‘kan’, suara yang keluar justru ‘ken’(huruf e dibaca seperti kata retak). Jabatan-jabatan strategis di luar Jawa, juga diisi orang Jawa. Mungkin supaya bisa lebih dikontrol, pertimbangnnya. Waktu itu,  sistem pemerintahan masih sentralistis. Belum dikenal istilah otonomi daerah. Maklum juga presiden waktu itu  memang orang Jawa tulen. Dia memimpin selama 32 tahun. Masa yang cukup lama, sehingga mungkin mampu membuat Indonesia menjadi rasa Jawa. Jangan  anggap serius tulisan ini, ini hanya uneg-uneg pemuda lulusan jurusan sosiologi yang takut ilmunya hilang tak terakomodasi. Saya sendiri orang Jawa tinggal di Jakarta. Pacar saya, orang Jawa , tinggal di Papua. Dan kata pacar saya, di Papua sana, terkadang lebih mudah ketemu orang Jawa daripada penduduk pribumi.

Lapangan Futsal, Judi Bingo, & Demonstran Bayaran

15 Oct

Menyusuri kolong tol, tanpa sengaja menjadi aktivitas saya dalam beberapa minggu ini . Proyek  bantuan pembangunan lapangan futsal di bawah jalan bebas hambatan membuat saya harus mensurvey ke sana kemari.  Terkadang ditemani oleh rekan-rekan dari dewan kelurahan sebuah wilayah di bilangan Jakarta Utara.  Walau tak jarang hanya berdua saja dengan kawan insinyur saya. Laiknya sudut kota lain, kolong tol menyimpan pelajaran berharga bagi saya dan kawan lain yang sering ke lapangan. Melihat masyarakat yang tinggal di sana, seperti memperhatikan papan tulis yang berisi pengetahuan yang luar biasa. Pengalaman beberapa minggu yang lalu, salah satunya.

Sore itu, saya bersama seorang kawan  sedang  mengukur lapangan yang hendak dibangun. Sambil mengira-ngira apa saja yang perlu ditambahkan dalam pembangunan faslitas olah raga popular ini. Udara cerah, sementara angin bertiup sepoi-sepoi menerjang wajah saya. Selesai mengukur lapangan, kami duduk di sebuah sudut parit. Menatap rumah-rumah bedeng yang berjejer di sepanjang selokan. Tak  ada yang rata. Sementara anak-anak kecil bermain ke sana kemari berlari-lari. Sayup sayup saya mendengar orang-orang berteriak” Satu keong, dua monyet…”. Orang tersebut terus berteriak meneruskan hitungannya. Perhatian saya, tiba-tiba saja tertarik ke arah suara di salah satu sisi lapangan. Sekumpulan ibu-ibu duduk berkeliling. Ada yang menggendong anak, sambil menyupi. Ada yang sambil merokok.Ada yang menyantap makanan. Semua tampak berkonsentrasi pada satu titik.

Karena ingin tahu, saya pun mendekat. Terlihat, seorang pria duduk, sambil mengambil batu batu bergambar dari potongan bola plastik.Sementara ibu-ibu tadi mengelilingi. Kawan saya ternyata mengekor.”Ini namanya judi bingo, tok. Kalau ibu-ibu ini bisa bikin satu garis lurus, dia bakal menang. Tapi kalau ga, Bandar. Ya si laki-laki itu yang menang,”kawan saya tiba-tiba bersuara. Saya pun  mencoba memahami cara bermain judi ini. Ternyata hampir mirip bermain 3 jadi. Yaitu membuat garis lurus pada sebuah lembar bermotif kotak-kotak yang bernomor. Baik vertikal, menyerong maupun horizontal. Jadi si Bandar akan menyebut nomor secara acak, sesuai dengan batu bergambar yang diambil dari potongan bola plastik. Si Bandar pun juga menyanding papan berkotak. Bila Bandar duluan yang berhasil membuat satu garis lurus, maka Bandar yang menang. Jika pemain yang berhasil duluan, maka pemain berhak mendapatkan sejumlah uang. Untuk sekali main, pemain dikenakan biaya 2000 rupiah.  Dan saya lihat, pemainnya  sebagian besar ibu-ibu dan kebanyakan membawa anak.

Belum selesai saya terheran-heran dengan permainan judi tadi, tiba-tiba sebuah bis berhenti tak jauh dari tempat saya berdiri. Dari bus tersebut keluar beberapa orang pemuda sambil menyangking botol air mineral. Wajah mereka tampak lelah, namun badan mereka terlihat tegap. Beberapa warga bilang, mereka habis ikut aksi demonstrasi Bank Century. Wah warga kolong tol ternyata mengikuti isu bank century rupanya. Namun apa kepentingan mereka. Kata beberapa orang, warga di sini tidak ada kepentingan apa-apa dengan Century, kepentingan mereka satu: uang untuk makan. Sekali ikut aksi bisa dapat 30 ribu. Sebuah nominail yang lumayan bagi mereka yang tak bepekerjaan tetap.

Soal demonstran bayaran ini sebenarnya bukan barang baru bagi saya. Saya sering mendengar dari warga sekitar, memang ada orang yang pekerjaannya mengeorganisir massa untuk kepentingan demonstrasi. Apa pun itu isunya, asal harga cocok, bisa jalan. Pasaran harga antara 20-30 ribu per orang. Tidak hanya pemuda, ibu-ibu bahkan anak-anak pun dilibatkan. Mungkin ada juga satu keluarga, ibu dan anaknya ibu bareng.

Bagi saya, sore itu adalah ‘momen’ luar biasa. Saya bisa melihat betapa kemiskinan bisa mendorong orang untuk berbuat apa saja. Sudah tidak ada lagi kata halal dan haram di kamus kehidupan mereka. Harapan mereka hidup mulia di ibukota, tak kesampaian. Apa daya, hidup di Jakarta harus bersaing berat. Kalau pun kita punya kemampuan untuk bersaing, kita belum tentu mampu menembus hirarki struktur masyarakat, karena tak punya kemapuan poltik apa-apa.  Apalagi mereka yang tak punya kemampuan bersaing, misalnya tak punya keterampilan apa-apa dan tak bermodal  apa-apa. Akan semakin berat menghadapi persaingan. Tugas siapa untuk mengentaskan ini semua?Negara? Cukup  berat bila kita hanya menunggu negara. Perlu sokongan dari kita semua. Kita semua yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang yang tak mampu. Kalau perlu, melatihnya sehingga mereka siap bersaing di ibukota.