Sewaktu akan berangkat ke Jakarta, saya membayangkan bahasa saya bakal berubah. Paling tidak akan lebih sering menggunakan Bahasa Indonesia. Atau kalau sudah parah, bakal menggunakan kosakata “Lo …Gue”. Apalagi ketika saya teringat sinetron-sinteron yang pernah tertonton. Mungkin lebih mantap lagi, bila semua huruf vocal yang berada di belakang kata berubah menjadi E. ‘Iya’ jadi ‘Iye’, ‘Kata’ jadi ‘Kate’, dan lain sebagainya. Saya selalu berkata dalam hati, akan mempertahankan default saya sebagai orang Jogja.
Sebulan di Jakarta, saya justru merasakan aura berbeda. Walau ada suasana Betawi, tapi yang lebih dominan justru suasana Jawa. Mau makan pecel lele, yang jual orang Lamongan. Awalnya saya pakai Bahasa Indonesia saat membeli, lama-lama berubah jadi Bahasa Jawa. Saat pulang kantor, mampir ke warung makan, yang jual orang Tegal. Saya juga pakai Bahasa Jawa saat membeli. Mau fotokopi buku, eh yang melayani orang Solo.
Suatu malam, saat saya bertandang ke sebuah warung pecel ayam di kawasan Utan Kayu. Saya iseng-iseng tanya asal penjualnya. Dia menjawab asal Padang. Oh, untung bukan orang Jawa lagi. Saya bilang ke dia” Wah orang Padang itu terkenal dengan semangat merantaunya ya bang. Ke mana-mana pasti ada orang Padang”. Dia pun menjawab,” Wah sebenarnya bukan Padang, tapi justru orang Jawa. Coba lihat saja, dari Sabang sampai Merauke,mudah ketemu orang Jawa”. Jawaban penjual tadi memang ada benarnya. Paling tidak hal itu saya buktikan sendiri, saat 2 minggu lalu saya ke Palembang melalui jalur darat.
Saat kami sampai di daerah Tulang Bawang, perut terasa lapar. Kami pun memutuskan untuk mampir ke sebuah warung. Tak dinyana tak diduga, yang jual orang Jawa juga. Saat perjalanan pulang, pengalaman yang sama kami alami juga. Mungkin mereka para transmigran yang merantau ke Lampung dan sekitarnya. Soalnya sepanjang perjalanan pulang, saya memang melewati wilayah-wilayah para transmigran. Tanahnya luas-luas, kebanyakan mereka menanam ketela. Kata kawan saya, ketela digunakan untuk bahan bakar alternatif. Mungkin mereka orang Jawa juga.
Ekspansi orang Jawa, saya boleh katakan luar biasa. Mungkin inilah salah satu hasil dari program transmigrasi yang digalakan Pak Harto dulu, atau justru jauh saat politik etis digulirkan Belanda. Di Jakarta sendiri, saya justru banyak menggunakan bahasa Jawa. Teman kos banyak yang orang Jawa. Pokoknya rasanya hidup di perkampungan Jawa. Bisa jadi, munculnya organisasi-organisasi etnis selain Jawa di Jakarta dipicu oleh desakan masuknya masyarakat Jawa yang luar biasa. Mereka membentuk pertahanan dengan menggabungkan diri dalam sebuah wadah, sehingga memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan gelombang besar eksodus orang Jawa. Pasalnya, saya pernah melihat data statistic sebuah keluarahan di Jakarta. Jumlah penduduk pendatangnya yang didominasi oleh Jawa, sebesar 19.000 orang, sedang penduduk asli hanya 2000 orang.
Berbagai streotip baik dan buruk muncul begitu saja mengiringi datangnya orang-orang Jawa ke pelosok negeri. Cap baiknya, orang Jawa dikenal pekerja keras bila di tanah rantau. Bila bekerja di tempat orang, mereka dikenal jarang membangkang dan rajin. Entah itu benar atau tidak, tapi fakta di sebagian besar pabrik di Jakarta, berisi orang Jawa. Cap buruknya, karena saking banyak hadir di setiap sektor kehidupan, dianggap mengambil jatah penduduk lokal. Masyarakat pribumi, seolah dinomorduakan. Yah, semoga saja itu tidak benar
Dulu di Jaman sebelum reformasi dulu,dikenal istilah jawanisasi. Sebuah terminologi yang menunjuk pada proses penyesuaian sistem kehidupan di luar Jawa(baca: Indonesia) dengan di Jawa. Dari sistem pemerintahannya hingga bahasanya pun seolah harus mengikuti pattern Jawa. Masih ingat di benak kita, para pejabat dahulu saat berbicara kata berakhiran ‘kan’, suara yang keluar justru ‘ken’(huruf e dibaca seperti kata retak). Jabatan-jabatan strategis di luar Jawa, juga diisi orang Jawa. Mungkin supaya bisa lebih dikontrol, pertimbangnnya. Waktu itu, sistem pemerintahan masih sentralistis. Belum dikenal istilah otonomi daerah. Maklum juga presiden waktu itu memang orang Jawa tulen. Dia memimpin selama 32 tahun. Masa yang cukup lama, sehingga mungkin mampu membuat Indonesia menjadi rasa Jawa. Jangan anggap serius tulisan ini, ini hanya uneg-uneg pemuda lulusan jurusan sosiologi yang takut ilmunya hilang tak terakomodasi. Saya sendiri orang Jawa tinggal di Jakarta. Pacar saya, orang Jawa , tinggal di Papua. Dan kata pacar saya, di Papua sana, terkadang lebih mudah ketemu orang Jawa daripada penduduk pribumi.